(Thursday, 30 November 2006) - Kontribusi dari Habiburrahman El Shirazy
Di tanah Kurdistan , ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia
memiliki seorang anak laki-laki yang tampan, cerdas, dan pemberani.
Saat-saat paling menyenangkan bagi sang raja adalah ketika dia
mengajari anaknya itu membaca Al-Quran. Sang raja juga menceritakan
kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di
medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira
mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kecil Said akan merasa jengkel
jika di tengah-tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang yang
memutuskannya.
Terkadang, ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba-tiba
pengawal masuk dan memberitahukan ada tamu penting yang harus ditemui oleh raja. Sang raja tahu apa yang dirasakan anaknya.
Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Said, Anakku, sudah saatnya kamu mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kau ajak bercinta untuk surga”. Said tersentak mendengar perkataan ayahnya. “Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada
penasaran.” Dia adalah teman sejati yang benar-benar mau berteman denganmu, bukan karena derajatmu, tatapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dan Dengan dasar itu kau pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuaan dahsyat yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar dan membawa kalian masuk surga”.
“Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” tanya Said.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kau jadikan teman.
Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kau anggap cocok menjadi temanmu untuk makan pagi di sini, di rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar.
Lihatlah kemudian apa yang mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga butir telur. Jika dia tetap bersabar, hidangkanlah tiga telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur jika kau bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu”. Said sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktekkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh
itu. Mula-mula ia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu per satu. Sebagian besar dari mereka marah-marah karena hidangnya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji, memaki-maki karena terlalu lama menunggu hidangan.
Diantara teman anak raja itu, ada seorang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengeluarkan sebuah piring berisi tiga telur rebus.
Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!”. Adil tidak mau menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meniggalkan Said sendirian. Said diam. Dia tidak perlu meminta
maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak lapang dada dan tidak cocok untuk menjadi teman sejati.
Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar terkaya. Tentu saja anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja ia tidak makan dan melaparkan perutnya agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan makanan anak raja pasti enak dan lezat. Pagi-pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia menunggu waktu yang lama sampai makanan keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di atasnya. “Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum” Kata Said seraya meletakkkan piring itu di
atas meja. Lalu, Said masuk kedalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung malahap satu persatu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke arah meja ternyata tiga telur itu telah lenyap. Ia kaget. “Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
“Telah aku makan”.
“Semuanya?”.
“Ya, habis aku lapar sekali”.
Melihat hal itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Said juga belum makan apa-apa.
Said merasa jengkel kapada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan.Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Akhirnya, Said meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari teman sejati.
Akhirnya, Said berpikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, mulailah Said berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik. Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu shalat dua rakaat. Said memerhatikannya dari balik rumpun pepohonan.
Selesai salat, Said datang dan menyapa, “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”. “Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha”. Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya.
Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kau anak orang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar”. Said menyahut, “Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak
yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Kau nanti bisa menilai, apakah aku cocok atau tidak menjadi temanmu”.
“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seia-sekata”. Said menyepakati syarat yag diajukkan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama ,memancing bersama, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya berenang di sungai, menggunakan panah dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang
cerdas, rendah hati, lapang dada dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan. Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya, sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh karena itu, Said merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.
Selesai makan, Said mengucapkan hamdalah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu dia diajari untuk mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang bisa dimakan, yang bisa dijadikan obat, serta yang beracun. Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. “Inilah keagungan Allah!!”. kata anak pencari kayu.
Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari madrasah seperti yang ada di ibukota kerajaan ilmu ada di mana-mana. Bahkan, di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga. Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said berpamitan kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya itu. “Pergilah ke ibu kota , berikan kertas ini kepada tentara yang kau temui di sana . Dia akan mengantarkanmu ke rumahku”. kata Said sambil tersenyum.
Pagi harinya, anak pencari kayu sampai juga di istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya, dia ragu untuk masuk istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.
Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu. Said pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja.
Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tentram. Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.
Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan temannya untuk memulai makan. Anak pencari kayu bakar itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara Said mengupas dengan cepat dan menyantapnya. Lalu dengan sengaja Said mengambil yang ketiga, mengupasnya dengan cepat dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebitur telur itu, apakah akan dimakannya sendiri atau?. Anak miskin itu mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia membelah telur itu jadi dua. Yang satu dia pegang dan yang satunya lagi, dia berikan kepada Said. Tidak ayal lagi, Said menangis terharu.
Lalu Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata. “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga!”
Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan meraka melebihi saudara kandung.
Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Alloh swt.
Karena kekuatan cinta itu mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru
kepada para ulama yang tersebar di Turki, di Syiria, di Irak, di Mesir dan di Yaman.
Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil, ayah Said meninggal dunia.
Akhirnya, Said diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah,
anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.
Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering malakukan shalat tahajud dan membaca Al-Quran
bersama. Kecerdasaan dan kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur, dan jaya.---
baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.---
Dikutip dari sebuah karya Habiburrahman El Shirazy
Sabtu, 20 Maret 2010
Senin, 15 Maret 2010
Kisah Fathimah Az_zahra r.a & Sayyidina Ali
Kisah ini saya repost dari note di facebook salah satu teman saya. kisah ini sungguh menggugah hati kita untuk memacu diri menjadi ikhwan sejati. semoga saja postingan ini bisa menjadi pembangkit semangat kita. kisah salah seorang pejuang.
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan
Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..
Dan inilah fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullahtentang membingkai perasaan dan
Bertanggung jawab akan perasaan tersebut
“Bukan janj-janji”
Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan 'Ali”
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya...
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha..
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan..
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih riDan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah..
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakanAtau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba..
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan
Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..
Dan inilah fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullahtentang membingkai perasaan dan
Bertanggung jawab akan perasaan tersebut
“Bukan janj-janji”
Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan 'Ali”
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya...
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha..
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan..
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih riDan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah..
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakanAtau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba..
Senin, 08 Februari 2010
Perhimpunan Ahli Geologi Arab Peringatkan Soal Gempa Bikinan Israel
emang bener2 kelewatan negara yg satu ini!!
Amman (ANTARA/SPA-OANA) - Ketua Umum Perhimpunan Ahli Geologi Arab (AGA), Bahjat Al Adwan Selasa, di ibu kota Jordania, Amman, mengeluarkan peringatan mengenai gempa bumi palsu buatan Israel yang dapat mengakibatkan ambruknya Masjid Suci Al-Aqsha.
Al Adwan, yang juga adalah Ketua Umum atau Presiden Perhimpunan Geologi Jordania, mengatakan dalam satu wawancara yang disiarkan Selasa bahwa satu-satunya cara ilmiah untuk menyelamatkan Al-Aqsha ialah dengan menyuntik kembali dan mengisi dengan semen celah yang dibor oleh Israel di bawah Masjid Suci tersebut.
Ia mengeluarkan peringatan mengenai berlanjutnya agresi dan penggalian Israel di bawah Masjid Al-Aqsha, yang ia katakan dapat mengakibatkan melemahnya fondasinya.
"Namun, pekerjaan lebih lanjut pada tahap ini akan memicu kehancuran Masjid tersebut jika terjadi gempa tak biasa yang disebabkan oleh perubahan lempengan tektonik," katanya.
"Selain itu, celah yang disebabkan oleh agresi Israel selama pencarian kuil yang diduga berada di sana mengakibatkan lemahnya kemampuannya untuk menahan kegiatan seismik dibandingkan dengan bangunan lain," katanya.
Dengan rujukan prospek bahwa gempa buatan Israel dirancang untuk membuat lemah fondasi Masjid Al-Aqsha, Al Adwan menunjukkan perbedaan antara gempa bumi alamiah dan gempa buatan. Ia mengatakan pengamatan seismik di Dinas Sumber Daya Alam Jordania (NRA) sepenuhnya mampu membedakan gempa bumi sesungguhnya dengan gempa bumi buatan.
astagfirullah al adzim,. beribu cara coba diterapkan Israel,. tapi InsyaAllah al-Aqsha tak akan pernah runtuh raganya,.
jadi ingat penggalan lirik lagu yang pernah saya dengar,.
klw gak salah gini liriknya,.
"untukmu jiwa-jiwa kami,. untukmu darah kami,. untukmu jiwa dan darah kami,. wahai al-Aqsha tercinta"
saya sempat merinding waktu pertama dengar lagu ini,.jadi serasa pengen ke sana juga buat mempertahankan mesjid al-Aqsha,. :D
Amman (ANTARA/SPA-OANA) - Ketua Umum Perhimpunan Ahli Geologi Arab (AGA), Bahjat Al Adwan Selasa, di ibu kota Jordania, Amman, mengeluarkan peringatan mengenai gempa bumi palsu buatan Israel yang dapat mengakibatkan ambruknya Masjid Suci Al-Aqsha.
Al Adwan, yang juga adalah Ketua Umum atau Presiden Perhimpunan Geologi Jordania, mengatakan dalam satu wawancara yang disiarkan Selasa bahwa satu-satunya cara ilmiah untuk menyelamatkan Al-Aqsha ialah dengan menyuntik kembali dan mengisi dengan semen celah yang dibor oleh Israel di bawah Masjid Suci tersebut.
Ia mengeluarkan peringatan mengenai berlanjutnya agresi dan penggalian Israel di bawah Masjid Al-Aqsha, yang ia katakan dapat mengakibatkan melemahnya fondasinya.
"Namun, pekerjaan lebih lanjut pada tahap ini akan memicu kehancuran Masjid tersebut jika terjadi gempa tak biasa yang disebabkan oleh perubahan lempengan tektonik," katanya.
"Selain itu, celah yang disebabkan oleh agresi Israel selama pencarian kuil yang diduga berada di sana mengakibatkan lemahnya kemampuannya untuk menahan kegiatan seismik dibandingkan dengan bangunan lain," katanya.
Dengan rujukan prospek bahwa gempa buatan Israel dirancang untuk membuat lemah fondasi Masjid Al-Aqsha, Al Adwan menunjukkan perbedaan antara gempa bumi alamiah dan gempa buatan. Ia mengatakan pengamatan seismik di Dinas Sumber Daya Alam Jordania (NRA) sepenuhnya mampu membedakan gempa bumi sesungguhnya dengan gempa bumi buatan.
astagfirullah al adzim,. beribu cara coba diterapkan Israel,. tapi InsyaAllah al-Aqsha tak akan pernah runtuh raganya,.
jadi ingat penggalan lirik lagu yang pernah saya dengar,.
klw gak salah gini liriknya,.
"untukmu jiwa-jiwa kami,. untukmu darah kami,. untukmu jiwa dan darah kami,. wahai al-Aqsha tercinta"
saya sempat merinding waktu pertama dengar lagu ini,.jadi serasa pengen ke sana juga buat mempertahankan mesjid al-Aqsha,. :D
kiamat emang dah dekat,.
Sadis, Bayi Tewas Dihantam Ayahnya
CANBERRA - Bayi berusia tiga bulan tewas akibat pukulan di kepala, yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Pelaku John Patrick O'Kane rencananya akan dijatuhi hukuman atas perbuatannya tersebut di Pengadilan Tinggi Australia Barat, Jumat 5 Februari mendatang.
O'Kane sendiri telah mengakui perbuatan biadab yang dilakukan terhadap anaknya sendiri. Dalam pengakuannya, pria berusia 41 tahun tersebut memukul anak yang bernama Zach pada bagian kepalanya. Akibatnya tengkorak bayi malang tersebut retak dan menyebabkan pendarahan pada otaknya.
Menurut keterangan penyidik Australia, usai melakukan aksi pemukulan tersebut O'kane bertindak seperti tidak terjadi apapun. Dia bahkan membawa mayat Zach dan pakaiannya di dalam bagasi mobilnya, dalam perjalanan selama dua hari menuju rumah O'kane di Perth.
Usai berkunjung ke rumah ibunya, O'Kane melanjutkan perjalanan dan mengubur anaknya Zach di semak-semak Taman Nasional Wellington Dam. Usai mengubur anaknya, O'Keane mencoba mengakhiri hidupnya dengan memotong urat nadi tangannya. Beruntung polisi berhasil menyelamatkannya dari kematian.
Belakangan baru diketahui jika O'Keane melakukan tindak pembunuhan atas bayinya sendiri. Saat proses penyelidikan berlangsung, ternyata O'Kane pernah melakukan hal serupa dengan anak kandung lainnya yang dilahirkan oleh istri simpanannya.
Dia diketahui menyiksa anaknya yang lain hingga menderita cacat saat anak tersebut berumur enam bulan, pada 1994 silam. Atas tindakannya tersebut, O'Kane menjalani hukuman penjara selama dua tahun.
Saat dalam pengadilan pria yang kondisi mentalnya tidak stabil tersebut, mengaku tidak bisa berhenti melakukan aksi penyiksaan. "Saya benci anak itu dan ingin membunuhnya" aku O'Kane seperti dikutip AAP, Selasa (2/2/2010).
Atas tindakannya ini, O'kane yang terus menudukan kepalanya saat pengadilan berlangsung, dihadapkan pada ancaman hukuman penjara seumur hidup dengan hukuman kurungan minimal selama lima tahun.
aduh2,. nih bapak memang gak ada otaknya yah,. itu darah daging sendiri malah dibunuh,. nyawa yang sama sekali benar2 tak berdosa,. mana korbanny dua orang lagi,.trus dua2nya anak kandungnya sendiri,. astagfirullah al adzim,.
semoga kita senantiasa diberikan hidayah dan petunjuknya,.
CANBERRA - Bayi berusia tiga bulan tewas akibat pukulan di kepala, yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Pelaku John Patrick O'Kane rencananya akan dijatuhi hukuman atas perbuatannya tersebut di Pengadilan Tinggi Australia Barat, Jumat 5 Februari mendatang.
O'Kane sendiri telah mengakui perbuatan biadab yang dilakukan terhadap anaknya sendiri. Dalam pengakuannya, pria berusia 41 tahun tersebut memukul anak yang bernama Zach pada bagian kepalanya. Akibatnya tengkorak bayi malang tersebut retak dan menyebabkan pendarahan pada otaknya.
Menurut keterangan penyidik Australia, usai melakukan aksi pemukulan tersebut O'kane bertindak seperti tidak terjadi apapun. Dia bahkan membawa mayat Zach dan pakaiannya di dalam bagasi mobilnya, dalam perjalanan selama dua hari menuju rumah O'kane di Perth.
Usai berkunjung ke rumah ibunya, O'Kane melanjutkan perjalanan dan mengubur anaknya Zach di semak-semak Taman Nasional Wellington Dam. Usai mengubur anaknya, O'Keane mencoba mengakhiri hidupnya dengan memotong urat nadi tangannya. Beruntung polisi berhasil menyelamatkannya dari kematian.
Belakangan baru diketahui jika O'Keane melakukan tindak pembunuhan atas bayinya sendiri. Saat proses penyelidikan berlangsung, ternyata O'Kane pernah melakukan hal serupa dengan anak kandung lainnya yang dilahirkan oleh istri simpanannya.
Dia diketahui menyiksa anaknya yang lain hingga menderita cacat saat anak tersebut berumur enam bulan, pada 1994 silam. Atas tindakannya tersebut, O'Kane menjalani hukuman penjara selama dua tahun.
Saat dalam pengadilan pria yang kondisi mentalnya tidak stabil tersebut, mengaku tidak bisa berhenti melakukan aksi penyiksaan. "Saya benci anak itu dan ingin membunuhnya" aku O'Kane seperti dikutip AAP, Selasa (2/2/2010).
Atas tindakannya ini, O'kane yang terus menudukan kepalanya saat pengadilan berlangsung, dihadapkan pada ancaman hukuman penjara seumur hidup dengan hukuman kurungan minimal selama lima tahun.
aduh2,. nih bapak memang gak ada otaknya yah,. itu darah daging sendiri malah dibunuh,. nyawa yang sama sekali benar2 tak berdosa,. mana korbanny dua orang lagi,.trus dua2nya anak kandungnya sendiri,. astagfirullah al adzim,.
semoga kita senantiasa diberikan hidayah dan petunjuknya,.
Langganan:
Postingan (Atom)